• Default Language
  • Arabic
  • Basque
  • Bengali
  • Bulgaria
  • Catalan
  • Croatian
  • Czech
  • Chinese
  • Danish
  • Dutch
  • English (UK)
  • English (US)
  • Estonian
  • Filipino
  • Finnish
  • French
  • German
  • Greek
  • Hindi
  • Hungarian
  • Icelandic
  • Indonesian
  • Italian
  • Japanese
  • Kannada
  • Korean
  • Latvian
  • Lithuanian
  • Malay
  • Norwegian
  • Polish
  • Portugal
  • Romanian
  • Russian
  • Serbian
  • Taiwan
  • Slovak
  • Slovenian
  • liish
  • Swahili
  • Swedish
  • Tamil
  • Thailand
  • Ukrainian
  • Urdu
  • Vietnamese
  • Welsh
Hari

Your cart

Price
SUBTOTAL:
Rp.0

Eddington: Ketika Politik Pasca-COVID Jadi Lebih Horor dari Film Horor!

img

    Table of Contents

Festival Film Cannes 2025 menjadi ajang bagi sutradara Ari Aster dan para bintang film terbarunya, Eddington, yaitu Pedro Pascal dan Joaquin Phoenix, untuk berbagi cerita tentang proyek terbaru mereka. Namun, perbincangan santai berubah menjadi diskusi serius ketika topik beralih ke budaya MAGA, era Trump, dan kekacauan sosial pasca-COVID.

Eddington, yang diproduksi bersama Lars Knudsen melalui Square Peg dan didanai serta didistribusikan oleh A24, menjanjikan sebuah film yang berani mengangkat isu-isu politik dan sosial yang tengah memanas. Film ini dibintangi oleh sejumlah nama besar seperti Emma Stone, Austin Butler, Luke Grimes, Deirdre O'Connell, Michael Ward, Clifton Collins Jr., dan Amelie Hoeferle.

Teaser film yang dirilis pada bulan April lalu memberikan sedikit gambaran tentang apa yang akan disajikan. Joaquin Phoenix terlihat terlibat konfrontasi dengan demonstran, Pedro Pascal sebagai wali kota berusaha menjadi pahlawan di tengah pandemi, Emma Stone membuat video permintaan maaf, dan Austin Butler tampaknya berperan sebagai tokoh yang memicu radikalisme.

Ari Aster, yang dikenal dengan gaya penyutradaraannya yang khas-gelap, nyeleneh, dan membuat penonton berpikir, kembali menghadirkan film yang akan menggali lebih dalam tentang kondisi sosial dan politik Amerika Serikat. Eddington akan membahas tema-tema berat seperti pandemi COVID-19, kerusuhan sosial, protes Black Lives Matter, dan perpecahan masyarakat di era digital.

Pedro Pascal mengungkapkan betapa naskah Eddington membuatnya merasa takut. Aku bener-bener takut waktu baca naskahnya, dan ternyata Ari juga ngerasa hal yang sama, ujarnya. Ia menambahkan bahwa naskah tersebut seolah menggambarkan skenario mimpi buruk dari semua ketakutan yang dirasakan selama masa lockdown.

Ari Aster sendiri mengakui bahwa ia tengah mencari harapan di tengah kondisi dunia yang menurutnya semakin memprihatinkan. Aku bener-bener lagi nyari harapan sekarang. Satu-satunya cara kayaknya ya, kita harus mulai ngobrol lagi sama satu sama lain, ungkap sutradara yang sebelumnya sukses dengan film-film seperti Hereditary, Midsommar, dan Beau is Afraid.

Film ini juga menyinggung tentang bagaimana masyarakat Amerika terpecah dan kehilangan rasa kebersamaan. Menurut Aster, dunia saat ini terasa seperti eksperimen sosial yang gagal. Kita ini kayak lagi hidup di eksperimen sosial yang gagal. Dulu, bahkan kalau kita debat soal politik, kita masih sepakat soal apa yang lagi kita perdebatkan, jelasnya.

Salah satu topik yang menjadi sorotan dalam film ini adalah budaya MAGA, sebuah gerakan sosial-politik yang berkembang dari slogan kampanye Donald Trump, yaitu Make America Great Again (MAGA). Banyak yang melihatnya sebagai simbol perpecahan masyarakat Amerika. Menurut Aster, masyarakat sudah mulai terpecah dan realitas menjadi kabur.

Budaya MAGA sering dikaitkan dengan nasionalisme yang kuat, patriotisme yang ingin mengembalikan Amerika ke masa lalu yang lebih konservatif, kebijakan keras terhadap imigran, anti-globalisasi, dan proteksionisme. Meskipun demikian, budaya ini juga sering dikaitkan dengan rasisme, intoleransi, teori konspirasi, dan polarisasi politik.

Ari Aster menggunakan karakter Eddington sebagai gambaran tentang apa yang terjadi ketika orang-orang yang hidupnya terisolasi akhirnya saling berbenturan. Ia merasa bahwa dunia ini sudah kehilangan kesepakatan dasar tentang realitas dan kita hidup di era hiper-individualisme. Dulu demokrasi liberal tuh punya kekuatan sosial yang menyatukan, sekarang udah gak ada lagi, ujarnya.

Meskipun film ini mengangkat tema-tema yang serius, Ari Aster tetap menyelipkan humor di dalamnya. Namun, di balik candaannya, ia tetap menunjukkan rasa cemas terhadap kondisi dunia saat ini. Ia berharap agar orang-orang dapat merasa aman dan saling menjaga.

Eddington menjanjikan sebuah film yang provokatif dan menggugah pikiran. Dengan gaya penyutradaraan Ari Aster yang khas dan penampilan memukau dari para bintangnya, film ini diharapkan dapat memicu diskusi yang lebih dalam tentang kondisi sosial dan politik Amerika Serikat saat ini.

Special Ads
© Copyright 2024 - Tempatnya Semua Tren, Semua Fandom!
Added Successfully

Type above and press Enter to search.

Close Ads