Geger! Lakon 'Bertiga tapi Berempat' Bikin Jakarta Penasaran!

Table of Contents
Sebuah pementasan teater berjudul Bertiga tapi Berempat mencoba mengulik kembali memori kelam seputar peristiwa reformasi di Indonesia. Pertunjukan ini, yang digarap oleh Teater Gardanalla, mengambil latar waktu antara tahun 1996 hingga 1998, masa-masa krusial yang penuh gejolak.
Sutradara sekaligus penulis naskah, Joned Suryatmoko, mengungkapkan bahwa ide pementasan ini muncul dari kegelisahannya melihat bagaimana data sejarah, khususnya yang beredar di media sosial, seringkali diolah dan diputarbalikkan. Ia ingin mengajak penonton untuk berpikir kritis dan mempertanyakan kebenaran di balik narasi-narasi yang ada.
Joned sengaja memilih Yogyakarta sebagai latar tempat karena peristiwa reformasi di kota ini sangat membekas dalam ingatannya, terutama karena ia sendiri adalah seorang mahasiswa pada masa itu. Pengalaman pribadinya menjadi inspirasi utama dalam penulisan naskah.
Naskah Bertiga tapi Berempat ternyata memiliki perjalanan yang cukup panjang. Pada tahun 2013, naskah ini sempat diterjemahkan ke dalam bahasa Jerman. Kemudian, Joned membawa naskahnya ke Asia Playwright Meeting di Tokyo, di mana naskah tersebut diterjemahkan ke dalam bahasa Jepang dan Inggris.
Pementasan ini berpusat pada tiga karakter utama: Dora, Cuk, dan Giant. Keempat aktor yang terlibat secara bergantian memerankan ketiga karakter tersebut, sekaligus menjadi narator. Latar panggung didominasi oleh ranjang dan kursi, menciptakan ruang yang intim dan dinamis.
Dora, salah satu karakter dalam pementasan, mengingat dengan jelas kejadian 13 tahun lalu di sebuah kosan di belakang pom bensin Sagan, Yogyakarta. Malam itu, Cuk, seorang aktivis yang terlibat dalam pembakaran kantor GATRA, datang menemuinya. Pertemuan mereka diwarnai dengan perbincangan tentang sejarah kelam Indonesia.
Menurut Joned, karakter Giant awalnya tidak ada dalam naskah. Namun, ia merasa perlu menambahkan karakter ini untuk memperkuat dramaturgi pertunjukan. Saya gak bisa ngelihatnya jadi proses organik, akhirnya Giant jadi master mind pertunjukan dan butuh ditambahin, ungkapnya.
Uniknya, pementasan yang berdurasi 1 jam 25 menit ini menonjolkan konsep akting berlagak dan metateater. Joned ingin mengeksplorasi bagaimana aktor dapat keluar-masuk peran, serta bagaimana realisme dapat diimplikasikan dan disuarakan melalui akting.
Realis tetap ada, tapi gimana akting keluar-masuk. Bisa mengimplikasi dan menyuarakan dramaturgi realisme, gimana akting berlagak seperti apa. Berangkat dari kegelisahan membagikan itu, gimana panggung bergerak ke wilayah yang bermain-main, jelas Joned.
Sejak tahun 2001, Joned memang fokus pada eksplorasi berbasis realisme dalam karya-karyanya. Ia tidak hanya memikirkan setting, tetapi juga bagaimana menghadirkan cerita yang relevan dan menggugah pemikiran penonton.
Pementasan Bertiga tapi Berempat ini diharapkan dapat menjadi ruang bagi penonton untuk merenungkan kembali peristiwa reformasi, serta mempertanyakan narasi-narasi sejarah yang selama ini beredar. Teater Gardanalla ingin mengajak penonton untuk berpikir kritis dan mencari kebenaran di balik setiap peristiwa.
Dulu, WS Rendra bahkan bersedia menjadi sponsor pementasan Teater Gardanalla saat mereka tampil di kampus UGM. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya karya-karya teater dalam menyuarakan isu-isu sosial dan politik.
Pementasan ini bukan hanya sekadar hiburan, tetapi juga sebuah upaya untuk merefleksikan masa lalu dan belajar dari sejarah. Dengan gaya realisme yang khas, Joned Suryatmoko dan Teater Gardanalla berhasil menghadirkan pertunjukan yang menggugah dan relevan dengan kondisi saat ini.
✦ Tanya AI